Berita Terkini

Gedung Pancasila : Lahirnya Pancasila Dan Eksistensi Dewan Rakyat Jaman Kolonial 1918 – 1941

oleh: Titik Nurhayati (Lulusan Magister Arkeologi Universitas Indonesia dan Magister Ilmu Hukum Universitas Borobudur Jakarta. Saat ini menjabat sebagai Komisioner KPU Provinsi Jawa Barat 2018-2023) Peringatan 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila, hendaknya tak dimaknai dengan upacara belaka. Sebagai bagian merefleksikan, tulisan ini sengaja dibuat untuk mengingatkan tentang Sejarah Perjalanan Bangsa. Merujuk pada peristiwa penting 1 Juni 1945, dalam kaitannya dengan lahirnya ide mengenai dasar Negara. Ajakan menggugah memori kolektif rakyat Indonesia, akan isi pengucapan Pidato Soekarno pada 1 Juni 1945 tentang Panca Sila. Gedung Pancasila sebagai tempat pengucapan Pidato, menjadi bukti benda tinggalan budaya masa lalu, sekaligus menyimpan berbagai peristiwa penting yang kelak kemudian hari menjadi cikal bakal lahirnya konstitusi Negara Republik Indonesia. Hari Lahir Pancasila, diperingati kembali setelah adanya Keputusan Presiden (Keppres) No. 24 Tahun 2016 yang menetapkan 1 Juni 1945 sebagai Hari Lahir Pancasila sekaligus ditetapkan sebagai hari libur nasional mulai tahun 2017. Sebelumnya, peringatan dihentikan di era Orde Baru. Presiden Soekarno merayakan terakhir kali 1 Juni 1966. Ada sebagian pendapat yang mempertentangkan mengenai dasar penentuan hari Lahir Pancasila. Perdebatan ini tidak jarang mengemuka setiap peringatan Hari Lahir Pancasila. Tulisan ini, tak hendak berbicara tentang perbedaan pendapat ini. Pidato penuh semangat tersebut dibacakan di Gedung Chuo Sangi In di Jalan Pejambon 2 Jakarta. Gedung yang pada masa kini lebih dikenal dengan sebutan Gedung Pancasila. Bangunannya sudah berfungsi sejak jaman Belanda, sebagai Gedung Volksraad (Dewan Rakyat). Gedung Pancasila sebagai benda budaya, menarik dipelajari dalam konteks sejarah perjalanan Bangsa, termasuk dari sudut pandang ilmu arkeologi. Robert J. Sharer dan Wendy Ashmore, dalam bukunya Archaeology Discovering Our Past, melihat arkeologi sebagai teknik khusus yang digunakan dalam membongkar bukti benda masa lalu, mengkaji masyarakat dan kebudayaan terdahulu, berdasarkan budaya kebendaan dengan menerangkan perkembangannya serta bagaimana benda tersebut digunakan pada jamannya. Konteks kajian arkeologi ini juga relevan, dalam mengkaji Gedung Pancasila sebagai bukti benda tinggalan budaya dalam peristiwa bersejarah, pembacaan Pidato 1 Juni 1945. Beberapa dokumen dan buku-buku jaman kolonial semakin memperkaya pemahaman untuk melengkapi makna pada Gedung Pancasila, baik di era menjelang kemerdekaan dan fungsi di jaman kolonial, yakni tahun 1918-1941. Dalam konteks kajian arkeologi, perspektif yang dihadirkan adalah untuk memberikan makna benda sesuai dengan konteksnya, sebagai proses untuk mencari, mengorganisir dan mendiskripsikan kejadian-kejadian di masa lampau serta menjelaskan arti kejadian-kejadian itu untuk masa sekarang. GEDUNG VOLKSRAAD: ARSITEKTUR NEO KLASIK KARYA J. TROMP Gedung Volksraad atau Gedung Pancasila adalah bangunan yang terletak di Jalan Pejambon No.2, Jakarta Pusat. Berada pada titik toordinat 6°10′28″S 106°50′01″E. Gedung Pancasila, diperkirakan dibuat pada tahun 1830an. Bangunan ini ditetapkan sebagai Benda Cagar Budaya berdasarkan SK Menteri No: PM.13/PW.007/MKP/05 dan SK Gubernur No. 475 tahun 1993. Lokasi Gedung Pancasila, dulunya bernama Jalan Hertog atau dikenal Duke’s Way. Nama jalan Hertog diambil dari nama seorang Gubernur Jenderal Benhard Herzog van Sachsen-Weimar-Eisenach (1792-1862). Panglima Angkatan Darat pada masa pemerintahan Hindia Belanda, juga tinggal di sini antara 1849-1851. Di masa sebelumnya, abad ke-17 dan awal abad ke-18, lokasi tersebut dulunya merupakan pabrik gula yang dijalankan oleh seorang pengusaha Cina, lalu kemudian didirikan barak militer. Desain arsitekturnya dibuat oleh Ir. J. Tromp. Narasi Huib Akihary tentang peran J Tromp waktu itu cukup penting, sebagaimana dalam bukunya  Architectuur and Stedebouw in Indonesie 1870/1970.  Pemerintah Hindia Belanda mempunyai Departemen pekerjaan umum sipil (Department van Burgerlijke Openbare Werken) atau yang dikenal dengan nama B.O.W.  Departemen ini bertanggung jawab atas perawatan, pemeliharaan, dan perbaikan pekerjaan teknik sipil yang dikelola oleh Pemerintah, termasuk bangunan negara, jembatan, jalan, irigasi dan fasilitas fisik lainnya. Semua produktivitas konstruksi yang luar biasa dan dalam bentuk yang beranekaragam jenis bangunan, membuat B.O.W kuwalahan menangani. Namun, Departemen B.O.W. telah meninggalkan jejak besar pada arsitektur dan pengembangan di Hindia Belanda, terutama setelah tahun 1908. Kemudian Pemerintah Hindia Belanda melakukan reorganisasi tahun 1832, di mana empat direktorat dibentuk, yaitu Administrasi Manajemen Air dan Gudang Sipil. Administrasi Air, dibagi menjadi tiga bagian, dimana Insinyur J. Tromp ditugaskan di Batavia (1798-1859) dari tahun 1818 hingga 1853. Diceritakan dalam buku tersebut, bahwa sering kali insinyur militer dipekerjakan sementara di dinas pengelolaan air sipil. Insiyur J Tromp, juga mengerjakan rekonstruksi Istana Gubernur Jenderal di Buitenzorg, yang hancur karena gempa bumi parah pada tahun 1834. Dia dibantu oleh W. de Struler, kapten di Corps der Genie. Termasuk mensupervisi pembuatan Gedung A.A. Maramis. Gedung Pancasila memiliki nuansa neo-klasik, mirip dengan gaya arsitektur yang berkembang di Perancis pada 1750an. Awalnya, arsitektur neo-klasik kembali muncul di kerajaan-kerajaan vassal, yang gaya arsitekturnya cenderung mengkarakterkan bangunan dengan makna keagungan saat masa renaisans. Neo-klasik dikatakan sebagai karakter bangunan yang melawan arsitektur Baroque dan Rococo. Pada bagian depan gedung, berdiri tiang-tiang besar yang kokoh. Warna cat gedung didominasi warna putih,. Terdapat Lampu-lampu gantung dan jendela tinggi mengelilingi seluruh dinding luar. Neo Klasik di Indonesia, dikenalkan oleh Herman Willen Daendels yang menjabat sebagai Gubenur Jenderal Hindia Belanda tahun 1808 hingga 1811. Mantan perwira militer ini adalah salah satu orang kepercayaan Kaisar Perancis Napoleon Bonaparte. Daendels kemudian memopulerkan gaya neo-klasik menjadi gaya arsitektur Indische Empire Style. GEDUNG PANCASILA MENJELANG KEMERDEKAAN Adolf Heuken SJ, salah seorang Ahli Sejarah kelahiran Jerman, dalam bukunya Historical Sites of Jakarta, mendiskripsikan bahwa Gedung Pancasila adalah salah satu bangunan penting dari sudut pandang sejarah nasional. Mengenai wacana kemerdekaan, sebenarnya sudah mulai menjadi kabar gembira pada sekitar September 1944. Berawal dari ucapan Perdana Menteri Koiso, bahwa  Indonesia akan dimerdekakan “kelak kemudian hari.”. Ucapan itu lalu disambut dengan digelarnya rapat umum di Jakarta. Soekarno dan para pemimpin Jawa Hokokai berpidato di Lapangan Ikada (sekarang menjadi bagian kawasan monas). Mohammad Hatta pun ikut memberikan pidato. Lagu Indonesia raya boleh dinyanyikan kembali, termasuk pengibaran Merah-Putih. Desember 1944, orang Indonesia diangkat sebagai Sanyo pada tiap-tiap departemen, sebagai persiapan kelak untuk menjadi Menteri. Pada Mei 1945, diadakan suatu panitia dengan nama Panitia Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Anggotanya dipilih oleh badan-badan atau organisasi tiap-tiap Shu dengan jumlah 60 orang. Ketua Panitianya adalah dr. Radjiman Widiodiningrat. Sidang itu mulai dibuka 29 Mei 1945, dengan pidato yang lumayan ringkas. Ada satu pertanyaan dr. Radjiman, mengenai Negara yang akan dibentuk itu apa dasarnya?  Narasi ini seperti yang dituliskan Mohammad Hatta dalam bukunya Menuju Gerbang Kemerdekaan. Rapat diwarnai sejumlah tema, termasuk sistem demokrasi peralihan yang akan dianut. Muncul juga perdebatan mengenai golongan yang mengemukakan Negara Islam dan golongan yang mempertahankan Negara bebas dari agama. Pada hari keempat, Soekarno menjawab pertanyaan Radjiman, yang berpidato kurang lebih 1 jam di gedung Volksraad, yang menyebutkan 5 pokok pada Panca Sila, lima dasar. Setelah pidato ini, kemudian Radjiman membentuk panitia kecil yang di dalamnya duduk semua perwakilan aliran Islam, Kristen, ahli konstitusi, untuk merumuskan kembali pokok-pokok pidato Soekarno. Teks Panca Sila yang sudah dirumuskan kembali menurut keputusan Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan kemerdekaan Indonesia, kemudian dimuat dalam permulaan UUD Republik Indonesia. VOLKSRAAD: KANTOR DEWAN RAKYAT (LEGISLATIF) 1918-1941 Volksraad  atau Dewan Rakyat, dibuat berdasarkan hukum  pemerintahan Hindia Belanda. Hal ini tercantum dalam Artikel 53 hingga 80 dari Bagian Kedua Indische Staatsregeling, wet op de Staatsinrichting van Nederlandsh-Indie, yang disetujui pada 16 Desember 1916, sebagaimana dinyatakan dalam Staatsblat Hindia No. 114/1916 dan berlaku efektif mulai 1 Agustus 1917. Pembentukan Volksraad dideksripsikan oleh Eduard J. M. Schmutzer, dalam bukunya yang terkenal Dutch Colonial Policy and The Search for Identity in Indonesia: 1920 – 1931. Volksraad adalah lembaga yang dimaksudkan sebagai perwakilan rakyat, yang memberi kesempatan bagi rakyat Belanda dan pribumi untuk bekerja sama dalam mempromosikan kepentingan wilayah. Sebagai sebuah institusi, Volksraad juga dimaksudkan untuk memajukan perkembangan  ke arah pemerintahan sendiri. Badan perwakilan dibuat untuk warga pribumi yang belum terbiasa dengan prosedur pemerintahan, dan satu sisi lain, bagi orang Eropa dan Cina yang lebih mementingkan bisnis, mereka menjalankan kekuasaan yang besar, dan hampir mengendalikan anggaran Pemerintah Hindia Belanda. Volksraad mempunyai kewenangan yang sangat terbatas. Pada awalnya mempunyai hak untuk memberi nasehat kepada pemerintah, tetapi pada tahun 1927 Dewan Rakyat ini diberi wewenang untuk membuat Undang-Undang bersama-sama dengan Gubernur Jenderal. Pemilihan Dewan Nasional, telah menjadi cahaya baru bagi tumbuhnya ruang gerakan organisasi pemuda di Indonesia. Sebelumnya, di daerah telah terbentuk komite-komite lokal yang mempersiapkan kandidat mereka di parlemen. Diceritakan untuk pemilihan dewan kota di tingkat lokal, pernah diadakan untuk pertama kalinya di Surabaya pada 1903. Ada komite lokal di Surabaya tahun 1909 yang mendukung pemilihan Brother Willibroard Keens, lalu Jos Suys. Narasi ini seperti yang dituliskan Karel A. Steenbrink, dalam catatannya Chatolics in Indonesia, 1808-1942: A Documented History. Misalnya, Kiesvereeniging Soerabaia (Asosiasi Pemilu Surabaya) menyatukan orang-orang dari semua keyakinan (kecuali para ekstrimis), yang mendukung beberapa umat Katolik. Hal ini dikarenakan, pada tahun 1915 pelarangan terhadap partai politik dan organisasi di Hindia Belanda dicabut, sebagai persiapan untuk pemilihan Dewan Nasional atau Volksraad pada tahun 1918. Kehidupan politik yang nyata menjadi mungkin. Partai politik nasional pertama sebagai afiliasi ummat Katolik dan Kristen, antara lain NIVB liberal, Nederlandsch-Indische Vrijzinnige Bond (Serikat Politik Liberal Hindia Belanda, didirikan pada tahun 1916). Lalu pada  1917, CEP Protestan, Christelijk Ethische Partij (Partai Etis Kristen), dan IKP, Indische Katholieke Partij (Partai Katolik Hindia). Sejumlah kekecewaan mewarnai pembentukan dewan rakyat pada periode pertama. dikarenakan mayoritas anggota adalah orang Eropa. Ada kesan keengganan untuk memindahtangankan kekuasaan pada para leluhur nusantara. Belum lagi dalam komposisi anggota dewan, lebih separuh diduduki warga Eropa, sisanya pribumi, Cina, Arab dan India. Kalangan nasionalis kecewa. Dewan Rakyat pada 1917 tak memberi ruang pada oposisi nasionalis karena selalu kalah dengan jumlah mayoritas besar anggota.  Tahun 1920, Gubernur Jenderal menjanjikan perluasan hak dewan rakyat. Undang Undang Dasar Negara Belanda direvisi pada 1922. Wilayah koloni, yaitu wilayah Belanda di Luar Negeri akan dihilangkan. Regeeringsreglement (Undang-Undang Administrasi Hindia Belanda) digantikan dengan konstitusi yang mencakup kekuasaan eksekutif dan legislatif. Kekuasaan Gubernur Jenderal harus persetujuan Den Haag. Jumlah anggota ditetapkan 60, yang menurut konstitusi 1925, terdiri atas orang belanda 30 anggota, pribumi 25, serta 5 orang Indo- Arab, dan Indo-Cina (dikutip dari Nusantara: Sejarah Indonesia).  Pemerintah ingin lebih liberal terhadap warga nusantara. Ternyata mayoritas Parlemen Belanda membalikkan angka yang semula diusulkan, sehingga menjadi 30 orang Indonesia, 25 orang Eropa dan 5 untuk sisanya. Akibatnya, timbul reaksi keras di Pemerintahan Hindia Belanda. Sejak 1928, jumlah tersebut terjadi sebaliknya. Jumlah pemegang hak pilih yang berhak memilih langsung wakil-wakil di Volksraad, tetap kecil sampai akhir pemerintahan administrasi Belanda.  Sistem pengambilan suara bertingkat ditetapkan untuk pemilihan Volksraad. Setiap pemilih mewakili pemegang hak pilih yang tidak ditentukan jumlahnya yang berhak memilih, untuk badan perwakilan lokal dan regional. Pemegang hak pilih untuk pemilihan dewan, dengan demikian dapat dibandingkan dengan “electors” dalam pemilihan Presiden Amerika. Pada 1924, hanya 452 orang Indonesia yang berhak ikut dalam pemilihan  dibandingkan dengan 594 orang Belanda Eropa. Pada 1927, 750 pemilih pribumi, 508 orang Eropa. Pada 1935, 1.529 orang pribumi, 550 orang Eropa, dan pada 1939, 1.452 pribumi, 343 Eropa. Pemilihan 1927 adalah yang terakhir, di mana kemudian orang pribumi dan Eropa membentuk satu badan pemegang hak sipil, sehingga warga pribumi kemudian mendapatkan jabatan. Harmonisasi hubungan ini, juga berimplikasi pada kemajuan perekonomian. Pemerintah Belanda sangat lega, walaupun sedikit ada penyesalan. Seharusnya reformasi konstitusional pada 1916 tak tergesa-gesa diterapkan dengan langsung membuat dewan rakyat. Walaupun ada perubahan, namun hubungan ini sebatas kaum nasionalis tersedia tempat sepanjang “bekerjasama” dengan pemerintah. Volksraad mempunyai dua kali masa sidang, yaitu setiap tanggal 15 Mei dan hari Selasa ketiga Oktober. Jangka waktu masa sidang, empat setengah bulan. Eksistensi Volksraad selama empat belas tahun (1927-1941), telah mengajukan 6 rancangan undang-undang, 3 diantaranya diterima pemerintah. Gedung Pancasila, menjadi saksi tiga jaman dalam peristiwa sejarah Bangsa, tentang penguatan demokrasi maupun sistem pemerintahan. Meski pun terjadi perubahan kekuasaan, baik kolonial maupun menuju kemerdekaan, selalu ada proses persiapan menuju transisi. Memperingati bukan bermakna mengkultuskan, atau tak hendak terjebak romantisme peristiwanya. Refleksi diperlukan, untuk tak lupa pada spirit lahirnya Lima Sila, Indonesia yang ber-bhineka tunggal ika.

Seminar Proposal Penelitian Dan Riset Kepemiluan Tahun 2021 Oleh STISIP Bina Putera Kota Banjar

kota-banjar.kpu.go.id — Pada hari Selasa,30 Maret 2021 KPU Kota Banjar menerima kunjungan dari STISIP Bina Putera Kota Banjar. Sebelumnya, STIKES Bina Putera juga telah melakukan kunjungan ke kantor sekretariat KPU Kota Banjar untuk melakukan presentasi proposal usulan judul penelitian dan riset kepemiluan di Tahun 2021. Seminar Proposal Penelitian dan Riset Kepemiluan ini dilaksanakan di Bale Panyajen Kantor KPU Kota Banjar. Presentasi disajikan oleh Tim Peneliti dari STISIP Bina Putera Kota Banjar dihadapan seluruh Komisioner KPU Kota Banjar. Dalam presentasinya, tim dari STISIP Bina Putera Kota Banjar mengusulkan judul Penelitian yang bertajuk “Pengaruh Politik Uang Terhadap Partisipasi Politik Pada Pemilu Legislatif Tahun 2019 di Kota Banjar Jawa Barat”. Penelitian ini merupakan penelitian lanjutan pada tahun 2014 dengan hasil signifikan diperoleh besarnya pengaruh vote buying terhadap partisipasi politik pada pemilihan umum legislative di Kota Banjar tahun 2014 adalah 7,70%. Tim peneliti akan mencoba meng-compare Kembali melalui topik yang sama tentang pengaruh politik uang terhadap partisipasi memilih pada Pemilu Legislatif tahun 2019 di Kota Banjar Jawa Barat. Penelitian ini diharapkan rampung pada bulan Desember 2021 dan dapat langsung mengikuti diseminasi penelitian sebagai rangkaian akhir dari timeline yang disepakati di MoU Penelitian dan Riset Kepemiluan dengan KPU Kota Banjar. Adapun peneliti yang akan tergabung dalam Tim Penelitian dan Riset Kepemiluan Tahun 2021 STISIP Bina Putera Kota Banjar adalah Dr. Teguh Anggoro, S.IP.,M.Sc. (Ketua), Tina Cahya Mulyatin, S.IP.,M.Si (Anggota), Nova Chalimah Girsang, S.H.,M.H. (Anggota), Yogi Sugiarto Maulana, S.Sos.,M.Si (Anggota), Andri Helmi Munawar,S.E.,M.M.(Anggota), Riza Purnama, S.IP.,M.Si (Anggota), Tofan Ibrahim,S.IP.,M.Si (Anggota). (RSNUH)

SAFARI DEMOKRASI EDISI VIII

kota-banjar.kpu.go.id__(kamis,12 maret 2020) Konsolidasi institusi dan kemitraan strategis KPU Kota Banjar pada kesempatan kali ini berkunjung ke BAPPEDA Kota Banjar. Kedatangan KPU Kota Banjar diterima langsung oleh Kepala Badan, Sekretaris dan Kabid. Pertemuan diawali dengan diskusi menganai bagaimana merawat atmosfir demokrasi dan kepemiluan tetap dijaga melalui berbagai cara, pendekatan dan kesempatan. BAPPEDA Kota Banjar mengapresiasi beberapa gagasan yang disampaikan dan akan ikut serta mendorong terwujudnya gagasan tersebut demi keberlangsungan demokrasi ke depanya. (DDM)

Safari Demokrasi Edisi VII

kota-banjar.kpu.go.id__(kamis 5 Maret 2020) Konsolidasi institusi dan kemitraan strategis KPU Kota Banjar edisi ketujuh (7) dengan Kementrian Agama Kota Banjar. Kedatangan KPU Kota Banjar diterima langsung oleh Kepala Kemenag, Kasi Pendis, Kasi Perencanaan, Perwakilan KUA dan Perwakilan Kepala Sekolah yang berada di bawah naungan Kemenag. Diskusi berjalan lancar dibalut suasana kekeluargaan yang hangat. Dani Danial Muhklis (Ketua KPU Kota Banjar) menyampaikan bahwa tujuan kedatangan KPU Kota Banjar ke Kemenag selain silaturrahmi kelembagaan juga dalam rangka mencari format kerjasama yang dapat dilakukan secara bersama-sama kaitanya dengan kepentingan merawat spirit demokrasi agar tetap terjaga. Rumusan ini penting dibicarakan dengan berbagai komponen agar tidak terjadi simplikasi makna demokrasi, dimana bagi sebagian besar masyarakat masih memaknai bahwa yang disebut demokrasi itu adalah Pemilu/Pilkada yang dilaksanakan perlima tahun sekali, padahal demokrasi adalah seperangkat tata hidup berbangsa dan bernegara. Diskusi tersebut menghasilkan beberapa point kerjasama yang akan dilaksanakan ke depan; 1. Pendidikan Demokrasi kepada masyarakat melalui majlis-majlis ta’lim. 2. Pendidikan Demokrasi kepada sisa-siwsi Madrasah Aliyah dan Pesantren. 3. Pendidikan Demokrasi di Puseur Atikan Demokrasi. 4. Pendidikan Demokrasi dan kepemimpinan ke sekolah-sekolah MA, melalui LDKS dsb. Dari diskusi itu juga lahir sebuah gagasan besar dimana KPU Kota Banjar dan Kemenag siap memformulasi penyelenggaraan Pemilihan OSIS Serentak di Madrasah-Madrasah Aliyah dengan beberapa format dan tahapannya mengacu pada format, tahapan dan regulasi pemilihan Kepala Daerah. Dengan kata lain, Pemilihan Ketua Osis serentak yang sedang digagas ini nantinya bisa dijadikan miniatur Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah. Diakhir diskusi KPU Kota Banjar menyampaikan ucapan terimakasih tak terhingga kepada Kepala Kemenag dan jajaran yang telah menerima kunjungan KPU Kota Banjar, terkhusus atas sumbangsih kemenag Kota Banjar dalam mendongkrak partisipasi pemilih baik di Pilkada 2018 maupun Pemilu 2019 kemarin. Dimana kita membuat terobosan dengan membuat sosialisasi pelaksanaan Pilkada dan Pemilu melalui materi khutbah Jum’at, Khutbah Idul Adha dan Idul Fitri yang lalu. (DDM)

BUDAYA POLITIK ELEKTORAL “SETARA”: SEBUAH KEHARUSAN

BUDAYA POLITIK ELEKTORAL “SETARA”: SEBUAH KEHARUSAN oleh: Dr. H. Idham Holik, SE., M. Si (Anggota KPU Provinsi Jawa Barat) Setiap tanggal 8 Maret, masyarakat dunia merayakan International Women’s Day atau IWD (Hari Perempuan Internasional). IWD dirayakan sebagai bentuk pengakuan atas prestasi perempuan dan upaya untuk menciptakan dunia setara gender (a gender equal world). Pada tahun 1975, PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) secara resmi merayakan IWD dan menjadikannya sebagai bentuk dukungan bagi hak-hak perempuan dan partisipasinya dalam arena politik dan ekonomi. Di 2020 ini, IWD bertemakan #EachforEqual (Masing-masing untuk Setara). Tema tersebut dilandasi pemikiran an equal world is an enabled world (dunia yang setara adalah dunia yang memungkinkan) dan dengan tema tersebut, masyarakat dunia dipersuasi untuk meningkatkan kesadaran menentang bias (raise awareness against bias) dan mengambil tindakan untuk kesetaraan (take action for equality). Oleh karena itu, mari jadikan IWD sebagai peristiwa penting untuk lebih setara (a milestone to be more equal). Tuntutan untuk Lebih Setara Dengan momentum IWD 2020 ini, semoga masyarakat Indonesia khususnya yang tinggal di daerah yang sedang menyelenggarakan Pemilihan/Pilkada Serentak 2020 dapat memaknai pesan kampanye IWD tersebut sebagai semangat untuk menciptakan pemilihan inklusif gender. Tidak ada diskriminasi gender atau paritas gender dalam budaya politik elektoralnya semakin baik. Paritas atau kesetaraan gender untuk tingkat dunia, Indonesia masih jauh di bawah Afrika Selatan dan untuk Asia Tenggara, Indonesia juga bukan sebagai negara dengan indeks kesetaraan gender teratas. Berdasarkan The Global Gender Gap Index 2020 (153 negara di dunia), World Economic Forum (WEF) menempatkan Afrika Selatan di ranking 17 dengan skor 0,780, sedangkan Indonesia berada pada ranking 85 dengan skor 0,700. Indonesia juga jauh di bawah Filipina di ranking 16 dengan skor 0,781, Singapura di ranking 54 dengan skor 0,724 dan Thailand di ranking 75 dengan skor 0,708. Ukuran untuk indeks kesenjangan gender menurut WEF tersebut mengacu pada empat dimensi yaitu kesempatan dan partisipasi ekonomi, pencapaian pendidikan, kesehatan dan kelangsungan hidup, dan pemberdayaan politik. Temuan WEF tersebut senada dengan apa yang dipublikasikan McKinsey Global Institute dua tahun sebelumnya, tepatnya pada April 2018. McKinsey mempublikasikan hasil surveinya yang bertajuk The Power of Parity: Advancing Women’s Equality in Asia Pacific. Menurut survei tersebut, Indonesia masih mengalami ketidaksetaraan gender (gender inequality) dalam bidang representasi politik dan perlindungan hukum dengan kategori ekstrim (skor 0,37) dan masih jauh di bawah Filipina dengan kategori tinggi (skor 0,51). Berbeda dengan data terdeskripsikan tersebut di atas, data resmi milik Pemerintah Indonesia sangat optimis Indonesia sebagai negara memiliki kesetaraan gender yang baik. Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak bekerja sama dengan Badan Pusat Statistik menerbitkan Pembangunan Manusia Berbasis Gender 2019 yang menjelaskan bahwa Indeks Pembangunan Gender (IPG) Indonesia pada tahun 2018 sebesar 90,99 –meningkat 0,03 poin dari tahun 2017. Artinya semakin rendah kesenjangan pembangunan manusia antara perempuan dan lelaki. Indikantor IPG tersebut menggadopsi GEM (Gender Empowerment Measure) yang disusun oleh UNDP. Cukup disayangkan, dalam laporan tersebut, masih terdapat 19 provinsi IPG-nya masih di bawah nasional.  Deskripsi tersebut di atas menjadi informasi penting untuk secara imperatif menghadirkan perubahan dalam upaya peningkatan indeks kesetaraan gender di Indonesia. Pemilihan Serentak 2020 ini merupakan kesempatan strategis bagi Indonesia dalam mentrasformasi budaya politik elektoral menjadi lebih berorientasi pada kesetaraan gender dalam rangka memperkuat agenda konsolidasi demokrasi, sebagaimana yang dicanangkan oleh Pemerintah dalam RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) 2020-2024. Mungkinkah Perempuan Merdeka Memilih? Di setiap kali Pemilu/Pilkada, jumlah pemilih perempuan pengguna hak pilih (female voter turnout) selalu lebih banyak daripada pemilih lelaki (male voter turnout). Misalnya dalam Pemilu Serentak 2019, khususnya dalam Pilpres, prosentase pemilih perempuan pengguna hak pilih sebesar 80,67%, sedangkan pemilih lelaki pengguna hak pilih sebesar 77,34% atau dari total populasi pemilih pengguna hak pilih, prosentase pemilih perempuan pengguna hak pilih sebanyak 51,17%. Pemilih perempuan lebih aktif dalam menggunakan hak pilihnya daripada pemilih lelaki.   Ini merupakan modal politik untuk melakukan perubahan dimana pemerintahan hasil pemilu/pemilihan dapat meningkatkan indeks keseteraan gender. Dalam pengantar buku Inclusive Electoral Process (2015), Helen Clark (pejabat UNDP) & Phumzile Mlambo-Ngacuka (Direktur Eksekutif UN Women) menegaskan bahwa partisipasi penuh dan setara perempuan dalam proses politik dan elektoral merupakan merupakan tesis penting bagi pemberdayaan dan kesetaraan gender perempuan (dalam UNDP & UN Women, 2015). Untuk menguji partisipasi penuh dan setara perempuan tersebut penting untuk membahas dua pertanyaan reflektif berikut. Kedua pertanyaan ini juga sebenarnya dapat berlaku bagi pemilih lelaki. Pertanyaan pertama, apakah benar perempuan sudah merdeka dalam menentukan pilihan politiknya? Ada dua pendekatan dalam studi perilaku pemilih yaitu pendekatan psikologis dan sosiologis. Dalam pendekatan psikologis, keputusan elektoral tidak ditentukan secara sosial structural, tetapi ditentukan oleh hasil identifikasi partai dan evaluasi kandidat serta orientasi isu. Pendekatan ini dipelopori oleh sarjana ilmu sosial dari Universitas Michigan (Knoke, 1974; Roth, 2008:37). Sedangkan sebaliknya dalam pendekatan sosiologis, khususnya dengan model pejelasan mikrososiologis, tidak demikian yaitu dipengaruhi oleh efek keanggotaan kelompok sosial (the effect of social group membership), karena pada dasarnya menurut Paul Lazarsfeld, et al (1968:3137), voting is essentially a group experience (memilih pada dasarnya adalah pengalaman kelompok). Pendekatan sosiologis dipelopori oleh sarjana-sarjana dari Universitas Columbia –atau dikenal dengan nama Mazhab Columbia (Knoke, 1974; Roth, 2008:23-25). Pendekatan tersebut didasarkan pada Theory of Intersecting Social Circles (Teori Lingkaran Sosial Silang-Menyilang) yang dikemukakan oleh Georg Simmel (1908). Teori tersebut menjelaskan bahwa setiap manusia terikat di dalam lingkaran sosial yang silang-menyilang atau berinterseksi misalnya keluarga, pertemanan, tempat kerja, dsb. Dengan perspektif tersebut dan dalam konteks pemilih, Lazarsfeld, et al (1968:148) menyatakan bahwa pemilih hidup dalam konteksnya tertentu seperti status ekonomi, agama, tempat tinggal, pekerjaan, dan usianya yang menentukan lingkaran sosial yang mempengaruhi keputusan elektoralnya (Roth, 2008:24). Dengan perspektif pendekatan sosiologis tersebut, pemilih perempuan tidak memiliki kebebasan dalam keputusan elektoralnya, karena dipengaruhi oleh faktor eksternal dirinya. Pemilih perempuan dalam tekanan sosial atau lingkungan seperti kepala keluarga, pemimpin di tempat kerja, tokoh masyarakat berpengaruh, kelompok pertemanan, dan lain sebagainya. Dalam budaya politik patriarki, kepala keluarga (suami atau orang tua lelaki) sering kali memiliki hak veto atas pilihan elektoral istri atau anak perempuannya serta anggota keluarga lainnya. Hal yang sama juga terjadi dalam birokasi atau manajemen patrimonial, pemilih perempuan sering berada dalam kondisi sulit menolak arahan elektoral dari pemimpin di tempat kerjanya. Dalam politik elektoral, para kandidat sering kali menggunakan jaringan pemuka opini publik (network of public opinion leader) seperti tokoh masyarakat berpengaruh (misalnya tokoh adat, tokoh agama, dll) untuk tidak sekedar mempersuasi pilihan politik elektoral, tetapi juga memobilisasi dukungan politik pemilih. Ketidakberdayaan pemilih untuk menolaknya dikarenakan efek hubungan emosional yang sangat kuat.  Hal yang sama juga terjadi pada kelompok pertemanan (friendship group) yang biasanya menciptakan groupthink atau kondisi psikologis yang melahirkan keinginan kuat untuk menciptakan harmoni atau kesesuaian dengan anggota kelompok lainnya sehingga keputusan elektoral yang dibuat tidak rasional. Misalnya kelompok sebaya (peer group) sangat kuat mempengaruhi pemilih pemula.   Bagi pemilih muda atau millennial, semoga deskripsi tersebut menstimulasi kesadaran untuk setera dalam berpartisipasi elektoral. Di tahun 2020 ini dan dalam rangka memperingati Beijing Declaration and Platform for Action 1995 yang ke-25 tahun, UN Women masih melakukan kampanye publik bertemakan “Generation Equality: Realizing Women’s Rights for an Equal Future”. Semoga pemilih millenial dalam Pemilihan Serentak 2020 dapat bertestimoni, I am Generation Equality (Aku adalah Generasi Kesetaraan). Selanjutnya pertanyaan kedua, apakah pemilih perempuan akan terbebas dari politik klientelistik dalam Pemilihan Serentak 2020? Politik klientelistik terjadi ketika pemilih memberikan suaranya dikarenakan pertimbangan manfaat material (material benefits) yang didistribusikan oleh kandidat tertentu yang mencakup pemberian bantuan (favors), barang (goods), atau uang (cash) (Berenschot & Aspinall, 2019; Stoke, 2011). Istilah lainnya dari politik tersebut adalah vote buying (pembelian suara) dan ini terkategori sebagai campaign corruption (korupsi kampanye) (Stoke, 2011). Bisa juga disebut sebagai politik uang (money politics) dan ini merupakan tindak pidana dalam pemilihan. Pada Pemilu Serentak 2019, Ratna Dewi Pettalolo, Anggota Badan Pengawas Pemilu Republik Indonesia pernah menyatakan sasaran politik uang adalah kaum perempuan (2/4/2019). Dalam Pemilihan Serentak 2020, sangat potensial, perempuan belum terbebas dari politik klientelistik atau politik uang dan diperlukan langkah-langkah strategis mengantisipasi atau membebaskan perempuan dari situasi politik yang sangat problematik tersebut. Deskripsi atas kedua pertanyaan reflektif tersebut memberikan penegasan tentang perlu adanya gerakan voluntirisme elektoral (the electoral volunteerism movement) untuk memerdekakan perempuan dalam menentukan pilihan elektoralnya dengan basis rasionalitas dan program pemberdayaan. Oleh karena itu, gerakan voluntirisme tersebut harus dapat meningkatkan literasi elektoral dan gender pemilih perempuan dan dapat melakukan tindakan preventif untuk memproteksi atau mengeluarkan pemilih perempuan dari “lingkatan setan” politik klientelistik serta yang terpenting menciptakan atmosfir politik “merdeka memilih” bagi perempuan. Wujudkan Budaya Politik Elektoral “Setara” Dalam masyarakat patriarki, gerakan voluntirisme tersebut juga harus melibatkan pemilih lelaki sebagai objek dan subjeknya, karena memerdekakan pilihan elektoral pemilih perempuan dibutuhkan dukungan dari pemilih lelaki. Sebagai objek, pemilih lelaki harus diedukasi tentang kesetaraan gender dan sebagai subjek (atau aktor), pemilih lelaki harus mempelopori budaya politik elektoral “setara” berbasiskan literasi gender. Ini semua bertujuan agar pemilih lelaki dapat menjadi gender-sensitive voters (pemilih sensitif-gender), yang dapat mangapresiasi dan mempromosikan kesetaraan dalam partisipasi elektoral. Pemilih sensitif-gender selaras dengan kampanye global “HeForShe” yang diinisiasi oleh PBB (UN), sejak 20 September 2014. Kampanye tersebut merupakan invitasi bagi lelaki dan semua gender untuk bersolidaritas dengan perempuan dalam menciptakan dunia setara gender. Kampanye tersebut mendorong kedua gender untuk ambil bagian sebagai agen perubahan dan bertindak menentang perilaku dan stereotif negatif. Sebagai gerakan solidaritas global, kampanye tersebut bertujuan untuk mengakhiri ketidaksetaraan gender pada 2030.  Untuk mewujudkan budaya politik elektoral “setara”, penyelenggara pemilihan sudah saat mempelopori komunikasi politik sensitif-gender dimana mereka tidak menggunakan sexist language (bahasa seksis) atau gender-biased language (bahasa bias gender). Misalnya, dalam slogan advokasi kesetaraan memilih “one man, one vote” (satu orang, satu suara), penyelenggara pemilihan berani mengganti kata man dengan kata person. Kini slogan tersebut menjadi slogan yang inklusif, “one person, one vote”. Selanjutnya kompetensi sensitivitas gender juga harus dimiliki oleh setiap kandidat elektoral. Mereka disebut sebagai kandidat sensitif-gender (gender-sensitive candidate). Ini bukan persoalan apakah kandidat itu perempuan atau lelaki, tetapi apakah kandidat tersebut memiliki literasi, visi politik, dan kompetensi komunikasi politik kesetaraan gender dalam kampanyenya atau tidak. Kendala peningkatan paritas gender dalam pemilihan, pertama, tidak ada regulasi keberpihakan gender. Misalnya dalam regulasi kampanye pemilihan, tidak ketentuan tentang materi kampanye harus dapat meningkatkan kesadaran gender, yang ada hanya teks meningkatkan kesadaran hukum dan menghormati perbedaan suku, agama, ras, dan golongan dalam masyarakat (Pasal 17 huruf c & f PKPU No. 4 Tahun 2017). Selain hal tersebut, secara empiris atau berdasarkan fakta politik pada pemilihan sebelumnya, masih banyak kandidat perempuan yang tidak sensitif-gender dan begitu juga sama halnya dengan kandidat lelaki. Budaya patriarki sangat kuat dalam mempengaruhi tindakan dan komunikasi politik mereka. Kini di Pemilihan Serentak 2020 ini, partai politik memiliki peran sangat strategis dalam mendorong para politisi pilihan partai (baik perempuan ataupun lelaki) untuk menjadi kandidat yang sensitif-gender. Begitu juga, tokoh politik yang menjadi bakal calon perseorangan di Pemilihan diharapkan dapat memiliki komitmen politik sensitif-gender.   Dalam retorika politiknya, kandidat sensitif-gender memiliki kemampuan untuk menghindari genderlect (diksi berdasarkan jenis kelamin) atau gender-blind language (bahasa tuna-gender) dan mengedepankan retorika invitasional (invitational rhetoric). Kesetaraan (equality) menjadi ciri utama dari retorika politiknya, sehingga kandidat tersebut mampu menciptakan hubungan yang setara dan bebas stereotip gender serta dapat memahami pemilih perempuan dalam perspektifnya. Jadi, kompetensi sensitivitas gender dapat mengembangkan empati politik kandidat, sehingga pemilih perempuan ditempatkan sebagai subjek, bukan objek kampanye.  Melalui rancangan program pembangunan yang ditawarkannya selama kampaye, kandidat tersebut memiliki komitmen yang kuat untuk melakukan pemberdayaan pemilih perempuan dalam rangka peningkatan sumberdaya perempuan dan indeks kesetaraan gender. Kehadiran kandidat tersebut tidak sekedar menjadi pertanda demokrasi elektoral semakin matang, tetapi terkait masa depan pembangunan daerah. Ini dibuktikan dengan temuan survei McKinsey Global Institute (2018) dimana perempuan merupakan kekuatan yang memiliki kontribusi vital atas pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan. Jadi kesetaraan gender dalam politik elektoral adalah jalan menuju kesejahteraan. Kunci meraih hal tersebut, mari kita perbaiki komitmen dan tindakan pemberdayaan gender dalam Pemilihan Serentak 2020 melalui komunikasi politik sensitif-gender. Jadi, mewujudkan Pemilihan inklusif-gender adalah sebuah keharusan untuk praktek demokrasi elektoral lebih matang.   Referensi: Buku/Jurnal/Artikel Aspinall, Edward & Berenschot, Ward (2019). Democracy for Sale: Elections, Clientelism, and the State in Indonesia. Ithaca, New York: Cornell University Press. EIGE (2019). Toolkit on Gender-Sensitive Communication. Publication Date, 25 February 2019. Vilnius, Lithuania: EIGE (European Institute for Gender Equality). Link: accessed February 27th, 2019, 09:30 PM. Foss, Sonja K. (2009). Invitational Rhetoric. In Stephen W. Litteljohn & Karen A. Foss (Edts.). Encyclopedia of Communication Theory. California: SAGE Publications, Inc. p. 569-571 Johnson, Fern L. (2009). Genderlect Theory. In Stephen W. Litteljohn & Karen A. Foss (Edts.). Encyclopedia of Communication Theory. California: SAGE Publications, Inc. p. 431-433 Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak & BPS (2019). Pembangunan Manusia Berbasis Gender 2019. Jakarta: Kementrian PPPA Knoke, David (1974). A Causal Synthesis of Sociological and Psychological Models of American Voting Behavior. Social Forces, Vol. 53, No. 1 (Sep., 1974), pp. 92-101. Roth, Dieter, Prof (1998). Empirische Wahlforschung. Penterjemah Denise Matindas (2008). Studi Pemilu Empiris: Sumber, Teori-teori, Instrumen, dan Metode. Jakarta: Friedrich-Naumann-Stiftung Indonesia. Stokes, Susan C. (2011). Political Clientelism. In Robert E. Goodin (Edt.). The Oxford Handbook of Political Science. New York: Oxford University Press. UNDP & UN Women (2015). Inclusive Electoral Processes: A Guide for Electoral Management Bodies on Promoting Gender Equality and Women’s Participation. New York: UN Women UNDP (2019). Principles of Gender-Sensitive Communication: UNDP Gender Equality Seal Initiative. Link: https://www.undp.org/content/dam/jamaica/docs/gender/JM-AUG-29-UNDP%20Gender%20Seal-Principles%20of%20gender-sensitive%20communications.pdf accessed at February 25th, 2020, 10:06 AM Dokumen Riset/Kebijakan Rancangan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2019. The Power of Parity: Advancing Women’s Equality in Asia Pacific. McKinsey Global Institute. Report, April 2018. Link: https://www.mckinsey.com/featured-insights/gender-equality/the-power-of-parity-advancing-womens-equality-in-asia-pacific#part1 Accessed February 17th, 2020, 08:45 AM World Economic Forum (2019). Insight Report. Global Gender Gap Report 2020. Geneva, Switzerland Website Generation Equality: Realizing Women’s Rights for An Equal Future. UN Women. Link: https://www.unwomen.org/-/media/headquarters/attachments/sections/library/publications/2019/generation-equality-realizing-womens-rights-for-an-equal-future-en.pdf?la=en&vs=3007 accessed at February 22nd, 2020, 11:05 AM History of the Day. United Nations. Link: https://www.un.org/en/events/womensday/history.shtml accessed at February 17th, 2020, 10:26 AM International Women’s Day #IWD2020 #EachforEqual, March 8, 2020. Link: https://www.internationalwomensday.com/ Accessed at February 17th, 2020, 09:05 AM International Women’s Day 2020 campaign theme is #EachforEqual. Link: https://www.internationalwomensday.com/2020Theme  accessed at February 16th, 2020, 05:20 AM Kaum Perempuan Menjadi Sasaran Utama Politik Uang. Bawaslu. Link: https://bawaslu.go.id/en/berita/kaum-perempuan-menjadi-sasaran-utama-politik-uang diakses 20 Februari 2020, 04;20 PM Press Release: UN Women Goodwill Ambassador Emma Watson Calls Out to Men and Boys to Join HeForShe Campaign. Saturday, September 20, 2014. Link: https://www.unwomen.org/en/news/stories/2014/9/20-september-heforshe-press-release accessed at February 26th, 2020, 11:47 AM

SAFARI DEMOKRASI EDISI IV

kota-banjar.kpu.go.id__ Giat hari ini, (Senin,2 Maret 2020) KPU Kota Banjar melakukan audiensi dengan DPRD Kota Banjar yang berlangsung sejak pukul 13.30 s.d selesai dan diterima langsung oleh Unsur pimpinan dan seluruh anggota DPRD Kota Banjar. Kegiatan tersebut dilaksanakan dalam rangka konsolidasi Institusi dan Kemitraan strategis edisi ke empat (4) setelah beberapa waktu sebelumnya melaksanakan kegiatan serupa ke instansi yang lain. Konsolidasi institusi dan kemitraan strategis ini dilakukan dalam upaya mewujudkan visi besar KPU RI yaitu penguatan kelembagaan dan konsolidasi demokrasi. Konsolidasi demokrasi tersebut merupakan salah satu upaya KPU dalam merawat spirit demokrasi di kalangan masyarakat agar napasnya terus berlangsung, tidak berhenti hanya karena penyelenggaraan Pemilunya telah usai. Masyarakat harus banyak dibekali pemahaman mengenai pentingnya daily politic dan literasi demokrasi agar secara bertahap masyarakat kita akan beranjak dari tipologi pemilih pragmatisme oriented dan emosional apektif menuju pemilih yang rasional kognitif. Dan hanya dengan upaya sungguh-sungguh itulah, demokrasi kita akad jauh lebih beradab. Selain program pemutakhiran data pemilih berkelanjutan, ada beberapa program/kegiatan yang direncanakan KPU Kota Banjar dalam rangka mewujudkan cita-citanya, salah satunya adalah workshop tata kelola kelembagaan partai politik, workshop rekruitmen kader partai politik, Pembentukan relawan demokrasi, KPU Talk dan penelitian terhadap beberapa isu sbb: 1. Keperempuanan dan Politik 2. Partisipasi Pemilih 3. Persepsi masyarakat terhadap money politik 4. Defisit Demokrasi; Representasi elit, partisipasi warga dan kontrol publik. 5. Pendidikan pemilih. Kegiatan audiensi di tutup dengan penyerahan cinderamata dari masing2 lembaga, penyampaian laporan penyelenggaraan Pemilu 2019 dan penyerahan Buku karya ketua KPU Kota Banjar Dani Danial Muhklis yang berjudul Napas Kebudayaan Demokrasi sebagai kenang-kenangan. (DDM)